top of page

5 alasan ketimpangan layanan kanker di Indonesia

Bulan April 2019. Saya baru saja mulai periode magang di salah satu institut riset kanker di Belanda, namanya Cancer Centre Amsterdam. Pembimbing saya adalah seorang calon dokter spesialis anak, perempuan muda Belanda usia 30-an awal yang sedang menyelesaikan studi S3. Proyek magang saya bertema leukemia (kanker darah) pada anak, saya ditugaskan mencari tahu risiko efek samping yang muncul setelah protokol terapi selesai. Suatu pagi saya bertanya: "Apakah ada pasien anak dengan leukemia yang tidak melanjutkan terapi di rumah sakit ini?" - dengan yakin dijawabnya "tidak ada". Semua pasien anak dengan leukemia di Belanda menyelesaikan protokol terapinya. Sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia: cukup banyak pasien anak dengan leukemia yang tidak dapat menyelesaikan protokol terapi - setidaknya di salah satu rumah sakit rujukan di Yogyakarta. Dari pertanyaan pendek ini, diskusi kami berbuntut panjang: apa yang menyebabkan angka drop out terapi leukemia anak di Indonesia begitu tinggi?

Masalah ketimpangan luaran (outcome) terapi kanker antara negara maju dan negara berkembang tidak hanya terbatas pada kasus leukemia anak. Luaran terapi kanker organ lain di negara berkembang, seperti di Indonesia, pun sedemikian rupa. Hal ini menunjukkan betapa timpangnya kualitas pelayanan kanker di berbagai belahan dunia. Jangankan antar negara, besar kemungkinan ketimpangan kualitas layanan medis untuk pasien kanker bisa jauh berbeda dalam satu negara: daerah-daerah yang lebih maju dan berkembang memiliki fasilitas yang lebih lengkap dan modern dibanding daerah pinggiran atau pedesaan. Dalam istilah ilmu kesehatan masyarakat, problem ini disebut sebagai "care inequity". Berbeda dengan konsep "care inequality" yang merujuk pada distribusi sumber daya yang tidak merata, "care inequity" merujuk pada berbagai masalah yang seharusnya dapat dihindari karena berdampak negatif pada hasil/luaran terapi kanker untuk kelompok tertentu.

 

Berikut ini beberapa hal yang mendasari masalah ketimpangan layanan kesehatan bagi pasien kanker:

  1. Diskriminasi: stigmatisasi kelompok tertentu berdasarkan ekspresi gender, jenis kelamin, atau etnis/suku memiliki dampak pada layanan kesehatan, termasuk bagi pasien kanker. Masih sering kita temukan kasus keterlambatan diagnosis kanker karena pasien - yang merupakan individu perempuan - harus menunggu izin untuk memeriksakan diri ke Puskesmas atau rumah sakit dari seorang laki-laki yang dianggap sebagai pemimpin keluarga. Beberapa kelompok etnis minoritas di berbagai belahan dunia juga cukup terisolasi, sehingga akses dan kualitas layanan kesehatan pun tidak sebaik kelompok mayoritas.

  2. Kemiskinan: Pengobatan kanker sebagian besar sudah tercakup oleh sistem asuransi kesehatan, seperti BPJS. Namun ada aspek lain yang tidak ditanggung oleh asuransi, yaitu biaya pendampingan pasien. Tidak sedikit pasien kanker yang harus didampingi keluarganya untuk berobat ke rumah sakit rujukan. Biaya perjalanan dari rumah ke pusat rujukan, biaya hidup pendamping pasien, serta biaya lain-lain (non-obat) bagi pasien tidak ditanggung oleh pihak asuransi - tidak jarang pasien dan keluarganya harus berhutang, terutama pasien-pasien kanker dengan latar belakang ekonomi menengah-bawah. Hal ini merupakan bencana finansial yang dapat mempengaruhi keputusan pasien kanker untuk tidak melanjutkan terapi, sehingga risiko kematian akibat kanker pun meningkat.

  3. Ketimpangan pengembangan wilayah kota & desa: Di kota tempat saya tumbuh besar, sudah banyak laboratorium swasta yang menawarkan berbagai program deteksi dini kanker - tentunya berbayar. Begitu pula di Yogyakarta. Namun, di kabupaten tetangga kondisinya berkebalikan. Tak jarang pasien-pasien kanker dari kota kecil atau desa harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan diagnosis atau pengobatan yang tepat. Mengapa? Karena fasilitas yang memadai berpusat di kota. Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena seolah-olah tempat tinggal seseorang menentukan apakah dia bisa survive sebagai pasien atau penyintas kanker.

  4. Usia: Risiko kanker akan meningkat seiring penuaan seorang individu, komplikasi dari pengobatan kanker pun lebih besar pada individu lanjut usia. Selain itu, gejala-gejala awal kanker pada individu lanjut usia mungkin tidak menjadi prioritas medis karena ada masalah-masalah medis lain yang juga memerlukan perhatian (penyakit kronis seperti diabetes, gangguan ginjal, atau hipertensi). Bila gejala awal kanker tidak dihiraukan, individu lanjut usia akan terdiagnosis kanker pada stadium lebih lanjut - keterlambatan diagnosis ini akan menentukan luaran dari penyakit yang dideritanya.

  5. Konflik & bencana: Kelompok masyarakat yang terdampak konflik sosial-politik maupun bencana alam merupakan tantangan berlapis bagi tenaga medis. Masyarakat di daerah konflik dan rawan bencana pasti memiliki trauma fisik-psikologis yang berdampak pada kemampuannya menjangkau layanan kesehatan. Selain itu, daerah konflik dan bencana lebih sulit dijangkau: ketersediaan bahan obat dan alat penunjang kesehatan lebih terbatas, bahkan beberapa wilayah tidak memiliki fasilitas kesehatan sama sekali. Bila tidak ada tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang tersedia, proses layanan - tidak hanya untuk kanker saja - sudah pasti terhambat.
     

Ketimpangan layanan kesehatan bagi pasien kanker dapat diperbaiki jika ada inisiatif yang kuat dan berkelanjutan dari masyarakat dan pemerintah. Kita bisa mengawali perbaikan dengan mengakui adanya ketimpangan kualitas dan akses layanan kanker di sekitar kita. Selain itu, kita juga perlu secara aktif meningkatkan kesadaran akan bahaya kanker - bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk masyarakat di sekitar kita. Pemerintah pun harus menjamin keberlangsungan dukungan finansial dan material (penempatan tenaga medis, ketersediaan fasilitas diagnostik, ketersediaan obat) agar kualitas layanan kesehatan bagi pasien kanker dapat lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.

KDA

Tantangan utama perawatan pasien kanker secara holistik

Kanker, apapun asal organnya, merupakan salah satu contoh penyakit tidak menular dengan angka kematian (mortalitas) tertinggi di dunia. Selain tingkat kematian yang tinggi, angka kejadian baru (insidensi) kanker juga cenderung meningkat di berbagai belahan dunia. Angka insidensi kanker serviks di Indonesia dilaporkan sebesar 9,2%, sementara angka kematian akibat kanker serviks mencapai 19,1%. Artinya, sekitar 1 dari 5 pasien yang terdiagnosis kanker serviks meninggal akibat penyakit ini. Bila dibandingkan dengan statistik rerata kanker serviks di Asia Tenggara, angka insidensi kanker serviks di Indonesia lebih tinggi (9,2% vs. 8.5% rerata) - begitu pula dengan mortalitas akibat kanker serviks (19,1% di Indonesia vs. 8.0% rerata). Mengapa hal ini bisa terjadi?

 

Menurut saya, kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini serta cakupan upaya pencegahan kanker serviks masih kurang. Data penelitian dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa hanya ± 6,83% individu perempuan usia 30-50 tahun yang telah menjalani inspeksi visual asam asetat (IVA) yang dapat mendeteksi adanya sel-sel berpotensi ganas di area serviks. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam program deteksi dini kanker, seperti kurangnya informasi tentang program deteksi dini dan keterbatasan akses layanan kesehatan. Metode deteksi dini lain seperti yang saya sebutkan di post minggu lalu  - seperti Pap smear dan biopsi jaringan - memang lebih akurat mendeteksi sel-sel ganas, namun memerlukan keterlibatan tenaga medis dengan keahlian khusus yang mungkin hanya tersedia di fasilitas kesehatan tingkat rujukan.

 

Selain mengikuti program deteksi dini secara berkala, vaksinasi HPV juga merupakan salah satu cara untuk mencegah kejadian kanker serviks. Idealnya vaksinasi HPV tidak hanya disarankan untuk individu perempuan, tetapi juga laki-laki, karena siapapun berisiko terinfeksi secara kronis oleh HPV. Sejak 2017, vaksinasi HPV sudah termasuk dalam program vaksinasi anak sekolah oleh pemerintah Indonesia (beserta program BIAS), yang disarankan untuk anak dan remaja perempuan berusia 9-14 tahun. Pada umumnya, dosis pertama vaksin HPV diberikan saat anak berusia 11 tahun (± kelas 5 SD) dan dosis kedua diberikan saat anak berusia 12 tahun (± kelas 6 SD). Tetapi, individu perempuan diatas usia 14 tahun juga disarankan untuk vaksinasi HPV lengkap (3 dosis dalam jangka waktu 6 bulan) sebelum kontak seksual pertama. Saya belum menemukan angka statistik pasti tentang cakupan vaksinasi HPV sejak 2017 hingga 2023, meskipun pemerintah Indonesia memiliki target cakupan vaksinasi HPV untuk anak perempuan sebesar 90% pada tahun 2030. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan keberlanjutan akses informasi tentang vaksin HPV, mengatasi masalah akses layanan kesehatan terutama untuk perempuan di daerah 3T, serta sigap meluruskan informasi tidak benar (hoax) tentang vaksinasi HPV bila program pencegahan kanker serviks melalui vaksinasi diharapkan mencapai target di tahun 2030.

Deteksi dini melalui program IVA serta vaksinasi HPV memang diharapkan dapat menekan angka insidensi kanker serviks di Indonesia. Namun, bagaimana jika seseorang sudah terdiagnosis kanker serviks? Apa yang bisa kita perbaiki agar angka kematian akibat kanker serviks - ataupun kanker di organ lain - dapat dikendalikan?

1. Diagnosis yang cepat dan akurat:
Sering kita mendengar cerita kawan yang baru saja diizinkan rawat jalan setelah beberapa waktu dirawat inap di suatu rumah sakit, betapa membingungkan sistem layanan kesehatan berbasis rujukan saat ini. Atau, betapa repotnya keluarga mereka mencari atau menunggu ruangan tersedia di fasilitas kesehatan rujukan. Hal-hal kecil seperti ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis kanker, sehingga pasien terlambat diperiksa oleh dokter spesialis dan gagal memulai prosedur terapinya sesuai rencana. Atau sel-sel kanker dapat menyebar ke organ lain sehingga rencana terapi harus disesuaikan. Belum lagi jika fasilitas kesehatan rujukan memerlukan pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak tersedia di wilayahnya: sampel jaringan mungkin harus dikirim ke kota atau provinsi lain sebelum diagnosis lengkap bisa ditegakkan. Oleh karena itu, saya berharap bahwa pemerintah Indonesia dapat memastikan ketersediaan layanan diagnostik kanker - termasuk pemeriksaan penunjang molekuler - di berbagai wilayah di Indonesia. Tentunya alat diagnostik tidak bisa bekerja secara otomatis, perlu tenaga medis ahli yang dapat "menerjemahkan" hasilnya untuk pasien. Hal ini merupakan kesempatan emas bagi generasi muda Indonesia yang memiliki minat di bidang medis di luar profesi dokter, bidan atau perawat, tapi juga sebagai teknisi laboratorium diagnostik.

2. Pemerataan akses fasilitas diagnostik dan perawatan:

Sepanjang program pendidikan profesi dokter, berulang kali saya bertemu pasien kanker yang berasal dari provinsi selain DI Yogyakarta atau Jawa Tengah. Mereka dirujuk oleh dokter spesialis di provinsi asal karena pilihan terapi tidak tersedia di rumah sakit daerah. Saya tidak bisa membayangkan berapa ongkos yang diperlukan untuk mengantar pasien berobat ke Yogyakarta - mungkin bisa mencapai belasan juta rupiah untuk sekali perjalanan! Ada kalanya dokter memerlukan pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak tersedia di wilayahnya: sampel jaringan mungkin harus dikirim ke kota atau provinsi lain sebelum diagnosis lengkap bisa ditegakkan. Keterlambatan diagnosis atau diagnosis yang tidak tepat tentunya berbahaya bagi pasien. Oleh karena itu, saya berharap bahwa pemerintah Indonesia dapat memastikan ketersediaan layanan diagnostik dan perawatan kanker - termasuk pemeriksaan penunjang molekuler - di seluruh provinsi Indonesia. Tentunya alat diagnostik tidak bisa bekerja secara otomatis, perlu tenaga medis ahli yang dapat "menerjemahkan" hasilnya untuk pasien. Hal ini merupakan kesempatan emas bagi generasi muda Indonesia yang memiliki minat di bidang medis di luar profesi dokter, bidan atau perawat, tapi juga sebagai teknisi laboratorium diagnostik.

3. Perawatan penunjang selama dan setelah protokol terapi:

Kita tahu bahwa pilihan pengobatan kanker yang tersedia di Indonesia - bedah, radiasi, maupun kemoterapi - merupakan proses yang berat dan menguras tenaga. Pasien kanker sering kali sudah berada pada kondisi lemah bahkan kritis, sehingga berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi selama dan setelah terapi.  Pasien kanker tentunya tidak selamanya dirawat inap di rumah sakit, namun pendamping atau anggota keluarga mungkin tidak dapat memberikan dukungan yang maksimal di rumah. Aspek non-medis seperti kebersihan lingkungan, mobilitas, serta dukungan psikis-spiritual sangat penting untuk menunjang kualitas hidup pasien kanker pasca-terapi. Hanya saja, aspek non-medis diatas tidak termasuk dalam cakupan pembiayaan asuransi kesehatan seperti BPJS - pasien dan keluarga harus mendanai perawatan penunjang ini dari tabungan sendiri (jika ada - jika tidak, saya 100% mafhum bila banyak pasien kanker dan penyakit kronis berat terlilit hutang). Hal ini bagi saya merupakan aspek paling kompleks, karena tidak ada satu cara yang paling efektif untuk memastikan kesejahteraan pasien kanker selama menjalani terapi.

4. Meningkatkan anggaran, sarana, dan prasarana perawatan paliatif:

Banyak pasien kanker serviks yang terdiagnosis pada stadium IV (stadium lanjut), sehingga memerlukan terapi paliatif. Terapi paliatif merupakan metode terapi yang ditujukan untuk mengoptimalkan kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis atau terminal. Contoh metode terapi paliatif antara lain manajemen nyeri, dukungan psikis-spiritual, mengatasi gejala atau efek samping yang muncul akibat terapi penyakit utama, dan lain-lain. Terapi paliatif umumnya melibatkan lebih dari satu spesialisasi medis, sering juga melibatkan pakar non-medis seperti ahli agama, penyintas kanker, ataupun orang awam yang terlatih. Saat ini, ada beberapa pusat layanan paliatif di Indonesia, umumnya berupa rumah singgah pasien yang disediakan oleh rumah sakit tertentu (hospital-based palliative care). Di Belanda, layanan perawatan paliatif dapat dilaksanakan di rumah (home-based palliative care): perawat paliatif akan mengunjungi pasien secara berkala sehingga pasien yang sudah rentan tidak perlu datang ke rumah sakit. Sayangnya, masih belum ada kebijakan di Indonesia yang mendukung perawatan paliatif di rumah, akses informasi dan panduan untuk pendamping pasien kanker pun masih terbatas. Saya harap dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan non-medis bagi pasien kanker, masyarakat dapat mendorong pemerintah daerah dan pusat untuk memperhatikan serta meningkatkan akses layanan paliatif - baik hospital-based maupun home-based - di Indonesia.

KDA

 

Prosedur diagnostik dan pilihan terapi untuk kanker serviks

Mengingat usia sudah memasuki kepala 3, beberapa waktu lalu saya menerima “surat cinta” dari komite “Bevolkingsonderzoek” di Belanda. Bukan surat cinta yang melankolis ya, tapi surat cinta yang lumayan bermanfaat untuk kesehatan saya jangka panjang. Yes, surat cinta itu berupa undangan untuk melakukan tes Pap smear di fasilitas kesehatan terdekat. Mungkin ada yang bertanya-tanya, lho kan Katarina belum menikah, kenapa diminta tes Pap smear? Di Belanda, tes Pap smear akan ditawarkan pada semua perempuan setelah menginjak usia 30 tahun - terlepas apapun status pernikahannya. Dan tes ini gratis 100%. Setiap orang yang setuju untuk Pap smear punya 2 pilihan: ambil sampel jaringan secara mandiri di rumah (alat sampling dikirimkan ke alamat rumah), atau sampel diambil oleh bidan atau dokter di fasilitas kesehatan terdekat. Saya pilih yang kedua: daripada saya harus akrobat 270 derajat biar cara sampling-nya tepat, lebih baik saya datang ke klinik & rebahan saja di ruang periksa.

Memang cukup tegang waktu datang & persiapan Pap smear, tapi saya pikir lagi.. lha saya ini lho sudah berkali-kali ada di “sisi seberang” kursi periksa (maksudnya, jadi “yang memeriksa”), kok masih tegang aja? Sebetulnya pemikiran begitu nggak banyak membantu sih, wajar lah kalau tegang pada pengalaman pertama menjalani prosedur yang cukup menginvasi batas-batas fisik saya. Untungnya ibu asisten dokter yang melakukan prosedur Pap smear sudah berpengalaman, jadi ya rasa kurang nyamannya sedikit berkurang. Syukurlah hasilnya pun normal. Oya hasilnya sampai di alamat rumah saya setelah sekitar 3 minggu.

Pada post minggu lalu, saya sudah menjelaskan bahwa proses carcinogenesis pada serviks bisa terjadi dalam waktu 10-20 tahun, dan umumnya tidak bergejala. Gejala kanker serviks akan muncul bila tumor cukup besar dan/atau menyebar (metastasis) ke organ di sekitarnya, misal pada kandung kemih atau organ-organ lain di luar panggul. Gejala yang sering dilaporkan berupa perdarahan abnormal dari vagina (setelah menopause, setelah kontak seksual, darah menstruasi keluar lebih banyak, atau muncul perdarahan antara 2 periode menstruasi). Bila massa pada serviks berukuran cukup besar, maka massa ini bisa menekan organ & jaringan sekitar. Gejala yang muncul akibat tekanan oleh massa kanker bisa berupa nyeri punggung bagian bawah, bengkak pada kaki, gangguan kencing (sulit kencing atau kencing berdarah). Apabila merasakan gejala-gejala tersebut, sebaiknya segeralah periksa ke dokter. Beberapa prosedur pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker serviksa antara lain:

  1. Pemeriksaan fisik umum: dapat dilakukan oleh dokter umum dan/atau bidan. Pemeriksaan kondisi umum & gejala fisik terkait metastasis kanker serviks bisa dilakukan melalui pemeriksaan fisik dada (mendeteksi tanda-tanda massa metastatik pada paru), perut (mendeteksi tanda-tanda metastatik pada liver & rongga perut secara umum), apakah ada pembengkakan pada paha & betis (dapat terjadi karena tekanan oleh massa pada serviks, yang menghambat laju peredaran darah & cairan limfe), dll.

  2. Inspeksi jaringan serviks secara makroskopis: dapat dilakukan oleh dokter umum dan/atau bidan, menggunakan alat speculum cocor bebek yang masuk ke jalan lahir (vagina). Bidan atau dokter yang melakukan pemeriksaan dapat mengamati kondisi serviks & vagina tanpa menggunakan alat bantu seperti mikroskop. Prosedur ini biasanya dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan penunjang no. 3 & 4.

  3. Inspeksi visual asam asetat (IVA): Dapat dilakukan bersamaan dengan pengamatan menggunakan speculum cocor bebek. Dokter atau bidan akan mengoleskan cairan khusus yang mengandung asam asetat (konsentrasi 5%), tujuannya untuk mendeteksi adanya sel-sel pada serviks yang terinfeksi HPV. Bagaimana cara asam asetat 5% mendeteksi adanya sel-sel yang telah “berubah”? Asam asetat dapat “menarik” komponen air keluar sel (menyebabkan dehidrasi) sehingga protein-protein sel akan memadat (koagulasi). Sel-sel yang terinfeksi oleh HPV mengandung tidak hanya protein sel tersebut, tapi juga protein virus. Akibat koagulasi protein sel & virus, sel akan tampak berwarna putih - lebih kentara dibandingkan sel-sel sehat yg tidak mengalami koagulasi protein.

  4. Pap smear: pemeriksaan ini sedikit berbeda dengan IVA, karena tidak hanya mengamati kondisi serviks & vagina saja, tapi juga ada proses pengambilan jaringan (sampling) pada serviks & vagina bagian belakang (posterior). Dokter bersama bidan dapat melakukan pemeriksaan Pap smear, bila alat & bahan tersedia. Pap smear memerlukan alat bantu untuk sampling jaringan pada serviks (disebut swab), yang “menangkap” sel-sel pada serviks & vagina untuk diamati dengan mikroskop. Tanda-tanda adanya virus HPV yang aktif membelah diri dapat dilihat dengan mikroskop. Selain mencari tanda-tanda virus aktif, pemeriksaan mikroskopis juga membantu dokter untuk mengamati apakah sel-sel pada serviks masih mirip dengan jaringan serviks normal.

  5. Colposcopy & biopsi jaringan serviks: pemeriksaan ini akan direkomendasikan bila ditemukan sel-sel yang abnormal (atau kemungkinan abnormal) setelah pemeriksaan Pap smear. Colposcopy & pengambilan jaringan serviks (biopsi) umumnya dilakukan oleh dokter spesialis kebidanan & kandungan (Sp.OG). Alat yang diperlukan untuk colposcopy lebih kompleks, sehingga biasanya diperlukan prosedur rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lebih tinggi. Melalui colposcopy, dokter Sp.OG dapat mengamati kondisi serviks & vagina dengan lebih detail karena setting alat ini memungkinkan perbesaran (magnifikasi) 6-40x mata telanjang. Karena dokter dapat mengamati lebih jelas, maka daerah jaringan serviks yang akan diambil untuk biopsi pun lebih akurat. Setelah jaringan diambil melalui biopsi, dokter Sp.OG akan mengirimkan sampel ini ke departemen patologi. Sampel dari serviks akan diperiksa lebih lanjut oleh dokter ahli lain, yaitu dokter spesialis patologi anatomi (Sp.PA), yang dapat menentukan karakteristik & derajat abnormalitas pada jaringan berdasarkan kriteria diagnosis yang berlaku secara internasional. Prosedur biopsi jaringan serviks memang invasif, sehingga setelah prosedur ini sangat dianjurkan untuk menjaga kebersihan area kemaluan (rajin mengganti pembalut, tidak menggunakan tampon & menstrual cup yang menginvasi vagina, tidak membersihkan area vagina dengan sabun baik sintetik atau alami), beristirahat cukup & tidak melakukan kontak seksual

  6. Pencitraan (imaging): pemeriksaan penunjang metode pencitraan dilakukan berdasarkan rujukan ke dokter spesialis radiologi (Sp.Rad) - umumnya pasien dikirim oleh dokter Sp.OG apabila ada tanda-tanda yang mengarah pada metastasis massa serviks ke organ lain. Contoh pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain rontgen (X-ray) dada untuk mengetahui adanya metastasis di paru, CT scan untuk mencari massa metastatik berbagai ukuran di berbagai organ, atau PET scan berbasis radionuklida yang memudahkan penemuan massa metastatik di kelenjar limfe (getah bening).

 

Terapi untuk kanker serviks dibedakan menurut derajat keparahan tumornya. Apabila sel-sel kanker masih berada pada lapisan terluar serviks (lapisan epitel) dan tidak menginvasi jaringan di bawahnya atau jaringan lain di luar serviks, maka tumor seperti ini dapat dikategorikan sebagai tumor terlokalisasi (carcinoma in situ, CIS). CIS pada serviks dapat diatasi dengan cara bedah (konisasi, LEEP) tanpa mengangkat rahim (uterus). Namun, pada pasien CIS serviks yang tidak lagi reproduktif, pengangkatan rahim (histerektomi) dapat disarankan untuk mencegah munculnya sel-sel kanker di kemudian hari (rekurensi). Apabila secara fisik pasien tidak memungkinkan untuk menjalani histerektomi, terapi radiasi internal dapat disarankan.

 

Kanker serviks yang invasif dangkal (kedalaman 3-5 mm), diameter <7 mm, dan tidak ada invasi ke jaringan lain melalui sistem peredaran darah atau limfe, maka tumor ini dikategorikan sebagai stadium IA. Tumor-tumor pada stadium I dapat diatasi dengan cara bedah (konisasi, trachelectomy radikal, dll). Trachelectomy merupakan prosedur pengangkatan seluruh serviks dan jaringan ikat di sekitarnya (parametrium) untuk mencegah rekurensi kanker, tapi bagian rahim dan indung telur dipertahankan untuk keperluan reproduksi. Bila massa tumor berdiameter lebih besar (5 mm - 4 cm) atau menginvasi lebih jauh hingga sisi vagina yang dekat dengan serviks, tumor ini dapat dikategorikan sebagai stadium IB hingga IIA berdasarkan jarak sebaran sel tumor. Mengingat tumor pada 2 stadium ini lebih ganas dan berpotensi menyebar dibandingkan tumor stadium IA, maka prosedur bedah histerektomi dan radioterapi akan disarankan. Hanya jika pasien masih ingin mempertahankan kapasitas reproduksi dan risiko penyebaran sel kanker lebih rendah, prosedur trachelectomy radikal dapat menjadi pilihan. Selain itu, kombinasi radioterapi dan kemoterapi juga dapat disarankan oleh dokter (tergantung hasil pasca-bedah).

 

Bila ditemukan sel-sel kanker pada jaringan ikat sekitar serviks dan rahim, vagina bagian bawah, atau organ-organ lain di rongga panggul (pelvis), tumor ini dikategorikan sebagai stadium IIB hingga IVA berdasarkan jarak sebaran sel tumor. Pada umumnya, prosedur bedah akan berisiko lebih tinggi dibanding pembedahan untuk stadium I hingga IIA. Oleh karena itu, kombinasi radioterapi dan kemoterapi lebih disarankan. Bila sel-sel kanker juga ditemukan pada organ di luar rongga panggul seperti paru, liver, atau tulang, tumor sudah memasuki stadium IVB. Tumor stadium IVB memiliki kemungkinan kesuksesan terapi yang lebih rendah, mengingat berbagai organ sudah terlibat. Selain terapi paliatif berupa radioterapi dan/atau kemoterapi, pasien kanker serviks IVB akan memerlukan lebih banyak terapi sistemik (pereda nyeri, antibiotika, pengaturan cairan, dll) untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul akibat berkembangnya sel-sel kanker di jaringan non-serviks.

 

Seperti yang kita sudah ketahui, terapi kanker dapat menimbulkan berbagai efek samping yang tidak kalah berbahaya. Oleh karena itu, semua pasien kanker - tidak hanya pasien kanker serviks - perlu dukungan yang kuat dan berkelanjutan dari keluarga dan pendampingnya. Saya sadar betul bahwa proses terapi kanker merupakan proses panjang yang tidak hanya menguras tenaga, tapi juga menguras tabungan. Semoga di masa depan, pasien-pasien kanker di Indonesia berserta pendampingnya dapat mengakses layanan diagnosis dan terapi kanker secara berkelanjutan dan mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah maupun organisasi masyarakat.

 

Sumber:

  1. https://www.cdc.gov/cancer/cervical/basic_info/diagnosis_treatment.htm

  2. https://www.cancer.gov/types/cervical/treatment#_142

Kanker leher rahim (serviks)

Pemerhati kanker mendedikasikan bulan Januari tiap tahunnya sebagai bulan kesadaran kanker leher rahim (serviks). Apakah serviks itu? Untuk mengenal serviks, kita harus memahami anatomi organ reporduksi perempuan. Organ reproduksi individu perempuan terdiri dari 4 bagian utama, yaitu indung telur (ovarium), tuba falopii, rahim (uterus), dan jalan lahir (vagina). Leher rahim (serviks) adalah bagian terbawah dari rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina. Selain vagina, organ lain yang dekat dengan serviks adalah kandung kemih & dubur (rectum). Kanker serviks adalah suatu kondisi dimana sel-sel yang melapisi bagian terbawah rahim berubah menjadi ganas.

 

 

Hampir 95% kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi kronis oleh human papilloma virus (HPV), yang umumnya bisa terjadi tanpa gejala. Sebetulnya HPV bukan merupakan mikroorganisme langka yang bisa menginfeksi jaringan tubuh manusia, hingga kini sudah ditemukan ± 200 jenis HPV. Seperti halnya manusia punya setidaknya 1 warna favorit, HPV juga punya “jaringan favorit”: HPV berkembang biak dengan baik di sel-sel berbentuk pipih dengan laju pembelahan sel yang cepat. Contoh sel-sel yang disukai oleh HPV adalah sel kulit (epidermis) & sel-sel yang melapisi bagian leher rahim hingga vagina.

Kanker serviks stadium awal umumnya tidak bergejala, jika ada gejala pun sifatnya ringan & mudah diabaikan. Namun, pasien kanker serviks stadium lanjut umumnya melaporkan lebih banyak gejala, seperti munculnya perdarahan dari vagina setelah kontak seksual, diantara 2 siklus menstruasi, atau perdarahan muncul lagi setelah masa menopause. Kadang pasien juga melaporkan rasa “begah” atau “penuh” pada perut bagian bawah, nyeri pada pinggang & kaki, atau kaki yang membengkak.

 

Statistik kanker serviks di Indonesia

Kanker serviks merupakan jenis kanker yang cukup sering dijumpai pada masyarakat Indonesia. Berdasarkan statistik pada tahun 2022 terdapat 36.633 kasus kanker serviks yang terdiagnosis, hal ini setara 9,2% dari total kasus kanker di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2022 menunjukkan bahwa 94% pasien kanker serviks di Indonesia meninggal dalam waktu 2 tahun, hal ini berkebalikan dengan statistik kematian akibat kanker serviks di negara maju: ± 91% individu yang terdiagnosis kanker serviks dapat bertahan hidup >5 tahun. Kok bisa? Ahli-ahli epidemiologi dunia memaparkan bahwa memang betul angka kematian akibat kanker serviks lebih tinggi di negara berkembang seperti Indonesia, sebagai akibat dari kurangnya informasi tentang kanker serviks sehingga gejala-gejala kanker serviks tidak dilaporkan, keterbatasan akses fasilitas layanan kesehatan yang menghambat deteksi kanker serviks secara akurat, terbatasnya ketersediaan bahan obat, serta beberapa alasan sosio-ekonomi lainnya (bias gender, kemiskinan, dll).

Mekanisme carcinogenesis pada kanker serviks

Dilihat di bawah mikroskop, sel-sel normal pada serviks seolah memiliki 2 bentuk yang berbeda. Pada sisi yang dekat dengan rahim, jenis sel yang melapisi serviks tampak lonjong (jaringan epitel columnar) sedangkan sel-sel di sekitar vagina tampak pipih dan bertumpuk (jaringan epitel skuamosa berlapis). Kedua jenis sel ini bertemu pada satu titik yang oleh tenaga medis disebut squamo-columnar junction, kadang juga disebut zona transisi / transformasi (TZ). Sel-sel pada TZ merupakan jenis sel yang sangat disukai oleh HPV. Mengapa? Karena sel-sel ini aktif membelah diri & cukup mudah berubah bentuk menjadi tipe sel yang optimal untuk HPV berkembang biak, yaitu sel-sel pipih / skuamosa berlapis. Proses perubahan bentuk sel ini disebut metaplasia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

S

 

Setelah menginfeksi sel-sel di zona transisi pada serviks, HPV akan menggabungkan diri ke dalam inti sel pada TZ yang sedang membelah. HPV memiliki komponen protein yang bersifat onkogenik (E6 & E7), yang mempengaruhi sifat-sifat sel setelah proses pembelahan: selain menyebabkan metaplasia, sel-sel anakan/keturunan dari  sel-sel yang terinfeksi HPV memiliki kemampuan membelah yang lebih cepat lagi. Jika proses pembelahan sel terlalu cepat, berbagai mutasi gen yang timbul tidak sempat diperbaiki secara alamiah. Infeksi HPV sebetulnya bisa dilawan dengan baik oleh sistem kekebalan tubuh kita, sekitar 70% sel terinfeksi virus bisa kembali normal dalam kurun waktu 12 bulan. Selama proses penyembuhan infeksi HPV, bisa saja sel-sel di zona transisi mengalami perubahan-perubahan yang memiliki sifat ganas. Sistem kekebalan tubuh cukup efektif mengeliminasi sel-sel baik yang “sekedar” terinfeksi HPV ataupun yang sudah mulai berubah.

Faktor risiko kanker serviks

  1. Perilaku seksual yang tidak sehat (mayoritas tipe HPV karsinogenik ditularkan melalui kontak seksual), misalnya hubungan seksual pertama pada usia <18 tahun atau sering berganti pasangan seksual

  2. Jumlah kelahiran hidup (paritas) tinggi

  3. Konsumsi pil KB oral kombinasi

  4. Merokok

  5. Gangguan kronis sistem imun (misal HIV)

 

Meskipun kedengarannya berat dan menakutkan, kanker serviks dapat dicegah dan diobati. Pemerintah Indonesia sudah menyediakan layanan skrining pada individu yang tidak memiliki keluhan untuk mendeteksi adanya perubahan-perubahan pada serviks di Puskesmas, seperti pemeriksaan visual dengan asam asetat (IVA) & Pap smear. Selain prosedur skrining tersebut, individu berusia 9-14 tahun juga disarankan untuk menerima vaksinasi HPV - baik remaja perempuan maupun remaja laki-laki - sehingga sistem imun tubuh sudah “mengenal” HPV sebelum kontak seksual pertama. Saya akan berbagi pengalaman menjalani Pap smear di Belanda pada post saya minggu depan. Selain itu, saya juga akan membahas beberapa mitos & fakta terkait vaksinasi HPV. Semoga hingga tahap ini informasi yang saya tulis cukup jelas & mudah dimengerti.

 

KDA

Sumber:

  1. Fowler JR, Maani EV, Dunton CJ, et al. Cervical Cancer. [Updated 2023 Nov 12]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431093/

  2. Wang X, Huang X, Zhang Y. Involvement of Human Papillomaviruses in Cervical Cancer. Front Microbiol. 2018 Nov 28;9:2896. doi: 10.3389/fmicb.2018.02896. PMID: 30546351; PMCID: PMC6279876.

  3. Burd EM. Human Papillomavirus Laboratory Testing: the Changing Paradigm. Clin Microbiol Rev. 2016 Apr;29(2):291-319. doi: 10.1128/CMR.00013-15. PMID: 26912568; PMCID: PMC4786885.

  4. https://ameera.republika.co.id/berita/r6sfav414/kanker-serviks-penyebab-kematian-tertinggi-no-2-perempuan-indonesia?#:~:text=Di Indonesia%2C setiap hari ada,meninggal dalam waktu dua tahun (diakses pada 9 Januari 2024)

  5. https://rsprespira.jogjaprov.go.id/kanker-dan-serba-serbinya-hari-kanker-sedunia-2022/ (diakses pada 9 Januari 2024)

Histologi serviks

Segudang masalah pada tiap sel kanker

Sel kanker sudah jelas abnormal - Anda tidak perlu belajar ilmu onkologi untuk memahami hal ini. Bagi saya, sel-sel kanker itu sangat cerdas. Bukan hanya karena memiliki dampak besar terhadap fungsi tubuh kita, tapi secara harfiah sel-sel kanker ini memiliki cara kerja yang berbeda dari sel normal. Hanya dengan kecerdasan yang unik inilah sel-sel kanker bisa bertahan hidup.

Berikut ini beberapa karakteristik yang hanya dimiliki sel kanker & tidak dimiliki sel sehat:

  1. Dapat membelah diri tanpa batas:

    Agar berfungsi normal, tubuh kita memerlukan proses regenerasi yang baik. Sel-sel sehat memerlukan sinyal-sinyal kimia yang tepat untuk mengatur proses regenerasi ini: sel-sel muda akan membelah diri agar bisa menggantikan sel-sel tua/lama yang harus “tersingkir”. Sinyal-sinyal yang mengawali & menjaga proses pembelahan sel juga diatur secara ketat, sehingga jumlah sel baru seimbang dengan jumlah sel tua yg mati. Sebaliknya, sel-sel kanker dapat terus membelah diri tanpa adanya sinyal-sinyal kimia tertentu. Oleh karena itu, sel-sel kanker bisa membelah diri dengan cepat & dalam jumlah besar. Suatu saat, populasi sel kanker akan melebihi populasi sel normal. Jika hal ini terjadi, maka fungsi organ dimana sel-sel kanker tumbuh pun rusak.

  2. Dapat mengelabui sinyal-sinyal penuaan/kematian sel:

    Sel-sel tua dalam tubuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga sudah lumrah jika sel-sel ini mati & digantikan oleh sel-sel muda yg fungsinya masih optimal. Proses kematian alamiah sel tua (dalam istilah medis: apoptosis) juga memerlukan sinyal-sinyal kimia yg tepat. Sel-sel kanker pada umumnya “kebal” terhadap sinyal-sinyal kimia yg terlibat dalam proses apoptosis. Oleh karena itu, sel-sel kanker dapat terus membelah & mendominasi populasi sel dalam suatu organ.

  3. Dapat membentuk pembuluh darah baru:

    Segala sel dalam tubuh kita memerlukan nutrisi yg dihantarkan lewat pembuluh darah. Mengingat kemampuan sel-sel kanker untuk membelah diri & membentuk koloni sel baru dengan lebih cepat, maka sel-sel kanker perlu tambahan nutrisi. Cara paling efektif untuk mendapatkan nutrisi yg cukup bagi sel kanker adalah dengan membuat pembuluh darah baru: sel-sel kanker bisa membuat sinyal-sinyal kimia yang “mengajak” sel-sel muda di sekitarnya untuk membentuk pembuluh darah baru (dalam istilah medis: angiogenesis). Selain menunjang pertumbuhan sel-sel kanker, pembuluh darah baru ini juga dapat menjadi metode penyebaran sel-sel kanker ke jaringan lain, baik yang dekat maupun jauh dari koloni sel kanker ini.

  4. Dapat menyebar ke jaringan lain:

    Sel yang sehat umumnya “tahu diri”: sel-sel ini hanya akan tumbuh di lokasi yg tepat pada organ tertentu, jika kondisi lokasi jaringan atau organ tidak sama 100%, maka sel normal tidak akan bertahan hidup atau tumbuh. Sebaliknya, sel-sel kanker dapat “mempersiapkan” jaringan & organ lain agar mendukung pertumbuhan & perkembangan koloni sel kanker secara optimal di tempat yang baru. Proses penyebaran sel kanker ke jaringan lain (dalam bahasa medis: metastasis) dapat terjadi melalui jalur pembuluh darah ataupun jalur pembuluh getah bening/limfe.

  5. Dapat mengelabui sistem kekebalan tubuh:

    Sel-sel sehat yang mendadak sakit (misal terinfeksi kuman tertentu) bisa menyebabkan masalah besar jika tidak disingkirkan. Pada umumnya, sistem kekebalan tubuh bisa mendeteksi sinyal-sinyal unik yang dikeluarkan oleh sel-sel yang “sakit”, sehingga sel-sel imun bisa melawan & menyingkirkan sel-sel yang bermasalah tersebut. Melalui berbagai mekanisme yang rumit, sel-sel kanker bisa mengelabui sistem kekebalan tubuh: misalnya dengan “melemahkan” serangan sel-sel imun terhadap sel kanker, atau “melarikan diri” ke bagian-bagian tubuh yang sulit dijangkau sel-sel imun.

  6. Dapat mengatur metabolisme alternatif:

    Semua sel di tubuh kita memerlukan energi untuk beraktivitas, termasuk untuk membelah diri & bertahan hidup. Proses metabolisme energi pada sel normal merupakan proses yang diatur secara ketat. Sel-sel kanker dapat mengatur sendiri proses metabolisme energinya sehingga lebih efektif dalam mendukung pembelahan sel - hal inilah yang menyebabkan sel-sel kanker bisa membelah diri dengan cepat & membentuk koloni di jaringan. Selain itu, sel-sel kanker juga bisa “memecah” zat-zat kimia obat yang dapat mematikan sel-sel sehat, sehinga zat-zat kimia obat tersebut tidak memberikan dampak pada sel kanker. Karena itu, beberapa jenis kanker pun kebal terhadap jenis obat tertentu, dalam bahasa medis disebut resistensi.

  7. Dapat menyebabkan peradangan / inflamasi:

    Jika kita mendengar kata “radang”, kita akan otomatis berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dalam tubuh kita. Proses peradangan pada sel-sel sehat akan berakhir dengan regenerasi: sel yang radang/sakit akan digantikan oleh sel-sel baru. Namun, proses peradangan justru menunjang pertumbuhan sel kanker, misalnya dengan mempercepat pembentukan pembuluh darah baru di sekitar koloni sel kanker. Oleh karena itu, sel-sel kanker “mempertahankan” sinyal-sinyal peradangan sehingga pertumbuhannya bisa lebih optimal.

  8. Memiliki kelainan tingkat gen (genomic instability):

    Setiap makhluk hidup memiliki sekumpulan asam amino (gen) yang bisa bekerja sama satu sama lain untuk mengatur/menjalankan fungsi tubuh tertentu. Tubuh manusia juga memiliki daftar panjang gen-gen yang terlibat pada pengaturan fungsi tubuh normal - apabila ada 1-2 asam amino yang “salah cetak” (dalam bahasa medis: mutasi), maka tubuh kita akan berfungsi secara tidak normal. Mutasi gen dapat terjadi seiring penuaan pada sel, sehingga sel-sel tua yang mengandung banyak komponen mutan harus disingkirkan. Sel-sel kanker dapat muncul setelah adanya mutasi gen yang tidak tersingkirkan, sehingga menimbulkan efek domino pada gen-gen yang lain: karena salah 1 gen bermutasi, maka peluang munculnya mutasi pada gen-gen lain pun lebih besar.

 

Nah, semakin jelas bukan “kecerdasan” sel-sel kanker? Mungkin saja di masa depan ilmuwan-ilmuwan kanker akan menemukan trik-trik cerdas lain yang memungkinkan sel kanker bertahan hidup & mendominasi tubuh manusia. Oleh karena itu, pernyataan “menyembuhkan kanker” mungkin rasanya terlalu ambisius - setidaknya bagi saya. Tapi jangan kecewa dulu.. Saya rasa kita semua hanya perlu memilih kata-kata lain (yang lebih realistis), misalnya “mengontrol kanker”, karena saya yakin kemajuan teknologi kedokteran bisa mengendalikan proses pertumbuhan dan/atau penyebaran sel kanker.

Sumber:

  1. Hanahan D, Weinberg RA. The hallmarks of cancer. Cell. 2000 Jan 7;100(1):57-70. doi: 10.1016/s0092-8674(00)81683-9. PMID: 10647931.

  2. Hanahan D, Weinberg RA. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 2011 Mar 4;144(5):646-74. doi: 10.1016/j.cell.2011.02.013. PMID: 21376230.

  3. Hanahan D. Hallmarks of Cancer: New Dimensions. Cancer Discov. 2022 Jan;12(1):31-46. doi: 10.1158/2159-8290.CD-21-1059. PMID: 35022204.

 

KDA

Apa itu kanker?

Apa yang terlintas di pikiran kita saat mendengar kata “kanker”?

Penyakit berat.

Kok bisa, kan saya hidup sehat?

Apakah ada obatnya? Pasti obatnya mahal sekali.

Bagaimana nanti jika rambut saya rontok, saya makin kurus?

Atau bahkan mungkin: berapa lama lagi waktu yang saya miliki?

Tentunya kata “kanker” tidak membawa konotasi positif di pikiran kita - saya paham betul hal tersebut. Saya juga paham bahwa banyak orang yang jadi sangat termotivasi “mencari kesembuhan total” dengan cara hidup lebih sehat, berobat, mencari info dokter & pengobatan terbaik, mencoba pengobatan alternatif, dll. Namun, jika kita berhenti sejenak & bertanya pada diri sendiri: “apa sih kanker itu?” - apakah kita punya jawabannya?

Jika Anda bertanya pada saya, yang mendedikasikan sekitar 5 tahun terakhir untuk mengenal kanker lebih dekat lagi, ini jawaban saya: kanker adalah sisi lain dari sel tubuh kita, yang mungkin tidak kita rasakan atau sadari keberadaannya.

Kanker sebagai penyakit tingkat seluler
Seperti segala hal di muka bumi, sel & jaringan normal di tubuh kita bisa sewaktu-waktu mengalami berbagai perubahan. Perubahan tidak selalu berarti buruk, kadang sel & jaringan perlu berubah untuk mempertahankan diri dari paparan zat-zat yang berbahaya. Sel yang berubah ini pun tidak serta-merta “mengganas”: pada tahap awal, sel & jaringan yang tidak normal masih bisa dikontrol oleh sistem kekebalan tubuh agar tidak mendominasi populasi sel dalam tubuh kita. Namun, sebagai proses adaptasi alamiah, sebagian sel yang berubah & memiliki karakteristik ganas (sel kanker) akan mencari cara untuk melawan balik sistem kekebalan tubuh. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker (dalam istilah medis: carcinogenesis) serta interaksi timbal-balik antara sel kanker dengan sistem kekebalan ini terjadi secara bertahap, sehingga perlu waktu yang panjang (sekitar 10-30 tahun).

Kanker sebagai penyakit tingkat genetik
Mungkin sekarang Anda bertanya: "apa yang menyebabkan sel-sel tubuh kita berubah?"

Jawabannya cukup singkat: ada perubahan pada gen.

Gen merupakan bagian dari segala makhluk hidup yg sangat berpengaruh, meskipun tidak kasat mata. Gen tersusun dari ratusan-ribuan komponen asam amino kecil, setiap gen menentukan fungsi khusus di sel-sel tubuh kita. Beberapa gen yang berbeda juga bisa saling bekerja sama dalam melaksanakan fungsi tertentu pada tiap sel. Jika susunan asam amino suatu gen berubah, fungsi gen pun berubah (mutasi). Pada skala kecil, mutasi gen bisa dikendalikan. Namun, jika jumlah mutasi gen terlalu banyak atau kejadian mutasi tidak terkendali, maka fungsi sel & jaringan pun berubah: yang awalnya bisa menghentikan proses pembelahan sel, gen yang bermutasi tidak bisa lagi menjalankan fungsinya sehingga sel-sel terus membelah diri. Jika pembelahan sel terjadi secara terus-menerus tanpa kendali, sel-sel kanker akan berkumpul di suatu lokasi & menjadi massa/benjolan (tumor) yang bisa kita lihat & rasakan. Beberapa jenis mutasi gen dapat menyebabkan atau mendukung proses perubahan sel normal menjadi sel kanker (carcinogenesis).

Umat manusia sudah lama hidup berdampingan dengan sel kanker dalam tubuhnya sendiri. Menurut saya, kanker memang merupakan sesuatu yang sulit tapi tidak harus ditakuti, karena ilmu pengetahuan medis dapat membantu kita memahami kanker lebih dalam & melawan sel kanker secara lebih akurat.

KDA

 

Mengapa saya menulis blog ini?

Sebelum kuliah di fakultas kedokteran, saya pikir kanker itu penyakit zaman modern yang muncul karena paparan zat-zat pemicu kanker (karsinogen). Ternyata saya salah. Kanker bukanlah penyakit baru, peradaban Mesir kuno sudah mencatat keberadaan kanker tulang & kanker payudara di lembaran papirus 3000 tahun sebelum Masehi. Sejarah Mesir & Yunani kuno mencatat berbagai upaya yang dilakukan dokter-dokter masa itu untuk mengatasi kanker, meski banyak juga yang menyimpulkan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan karena tidak ada obatnya. Sekitar tahun 2013-2014, saya dapat kesempatan menjadi asisten dosen di departemen Patologi Anatomi, saat itulah saya mulai mengenal & tertarik mendalami bidang onkologi/kanker. Ternyata, setelah ribuan tahun ilmu pengetahuan medis berkembang seiring kemajuan peradaban manusia, masih banyak aspek dari penyakit kanker yang belum kita ketahui. Blog Kenali Kanker merupakan ikhtiar saya dalam membantu meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia tentang penyakit kanker, sesuai dengan keahlian yang saya tekuni saat ini.

Masalah global yang dekat dengan kita

Angka kejadian kanker cenderung meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir, termasuk di Indonesia. Menurut data Riskesdas 2018, angka kejadian penyakit kanker di Indonesia mencapai 136,2 per 100.000 penduduk. Tren kejadian kanker di Indonesia pun cenderung meningkat: dari 1,4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018. Angka kematian akibat kanker di Indonesia juga masih cukup tinggi (>200.000). 5 jenis kanker dengan angka kematian tertinggi di Indonesia antara lain: kanker paru, kanker payudara, kanker leher rahim (serviks), kanker hati, dan kanker nasofaring. Namun, berdasarkan pengalaman singkat saya sebagai dokter umum di sebuah klinik kecil dekat batas Kota Jogja, masyarakat masih memandang kanker sebagai penyakit yang “cukup jauh” dari keseharian kita. Coba kita pikirkan sejenak: berapa orang yang kita kenal pernah terdiagnosis kanker, sedang menjalani terapi kanker, atau meninggal karena kanker? Mungkin saja tidak sebanyak kenalan atau keluarga kita yang rutin berobat untuk darah tinggi (hipertensi) atau kencing manis (diabetes), tapi bukan berarti masalah tersebut tidak ada.

Berdampak besar pada pasien & keluarga

Diagnosis & penanganan kanker masih merupakan hal yang rumit, karena keterbatasan kapasitas diagnostik & mahalnya biaya terapi. Meskipun biaya pengobatan kanker sudah masuk dalam skema pembiayaan BPJS, kadang kita terlambat menyadari bahwa ada biaya-biaya lain yang harus dipertimbangkan agar pasien kanker bisa menjalani pengobatan sesuai anjuran. Misalkan transportasi dari rumah ke fasilitas kesehatan, gaji yang hilang/tidak dibayarkan bila pendamping pasien adalah pekerja harian lepas, dll. Dampak dari penyakit kanker memang paling dirasakan oleh individu yang sakit, tapi kita sering lupa bahwa keluarga & orang terdekat juga merasakan dampaknya. Di fasilitas kesehatan, individu yang sakit akan langsung ditangani oleh tenaga medis. Namun, siapakah yang bertanggung jawab atas individu tersebut di luar fasilitas kesehatan? Pasti keluarga & orang terdekatnya. Oleh karena itu, saya rasa orang-orang terdekat penderita kanker juga perlu mendapatkan dukungan yang memadai selama mendampingi pasien kanker. Selain itu, sumber informasi yang akurat tentang penyakit kanker juga tidak kalah penting untuk pendamping, agar pendamping bisa mengenali gejala-gejala bahaya yang dapat muncul selama atau setelah proses pengobatan kanker & segera mencari pertolongan medis bagi pasien kanker.

KDA

MEDIA SOSIAL LAINNYA:

  • Youtube
  • Instagram

TULISAN TERBARU:

TAGS:

TENTANG PENULIS

Picture1.jpg

Salam kenal, saya Katarina Andini. Saya seorang dokter umum asal Indonesia yang melakukan riset doktoral (S3) tentang kanker di Groningen, Belanda.

bottom of page